OKH UIN SAIZU

ANALISIS KEKUATAN HUKUM MoU DAN PERJANJIAN KERJASAMA

Pada dasarnya, nota kesepahaman atau MoU ini tidak dikenal dalam hukum konvensional di Indonesia. Namun, meski demikian, MoU adalah salah satu bentuk pra-kontrak yang paling sering digunakan. MoU adalah singkatan dari memorandum of understanding. Nota kesepahaman atau MoU ini merupakan suatu perbuatan hukum dari salah satu pihak (subjek hukum) untuk menyatakan maksudnya kepada pihak lainnya akan sesuatu yang ditawarkannya atau dimilikinya. MoU pada dasarnya merupakan perjanjian pendahuluan, yang mengatur dan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengadakan studi kelayakan terlebih dahulu sebelum membuat perjanjian yang lebih terperinci dan mengikat para pihak pada nantinya. Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah

“Suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.”

Berdasarkan pasal tersebut, dapat dipahami bahwa perjanjian memiliki unsur-unsur berikut:
1. Perbuatan
Frasa “perbuatan” tentang perjanjian ini lebih kepada “perbuatan hukum” atau “tindakan hukum”. Hal tersebut karena adanya perbuatan sebagaimana dilakukan oleh para pihak berdasarkan perjanjian akan membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan tersebut.
2. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih
Perjanjian hakikatnya dilakukan paling sedikit oleh 2 (dua) pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum (subjek hukum).
3. Mengikatkan diri
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Artinya, terdapat akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.

Syarat Sah Perjanjian
Agar suatu perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan hal sebagai berikut:
1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak
Kata “sepakat” tidak dapat diperoleh karena adanya kekhilafan akan barang atau diri pihak yang terlibat dalam persetujuan. Apabila adanya unsur kekhilafan, paksaan, atau penipuan hal ini berarti melanggar syarat sah perjanjian.
2. Cakap untuk membuat perikatan
Setiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu. Adapun mereka yang dinyatakan tidak cakap, yakni anak yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan perempuan yang telah kawin dalam hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu. Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap sebagaimana disebutkan, perjanjian tersebut batal demi hukum.
3. Suatu hal tertentu
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Dalam hal suatu perjanjian tidak menentukan jenis objek dimaksud maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Barang yang dapat diperjanjikan adalah barang yang dapat diperdagangkan. Kemudian, penting untuk diketahui pula bahwa barang-barang yang belum ada saat ini atau baru ada di kemudian hari juga dapat menjadi objek perjanjian, terkecuali jika barang tersebut dilarang undang-undang.
4. Suatu sebab atau causa yang halal
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa atau sebab yang halal atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan hukum atau batal demi hukum.

Kekuatan Hukum MoU
a. MoU memiliki kekuatan hukum mengikat sama halnya dengan perjanjian itu sendiri.
Meskipun secara khusus tidak ada pengaturan mengenai MoU, serta penyusunannya diserahkan kepada para pihak, bukan berarti MoU tidak mempunyai kekuatan hukum yang bersifat mengikat, hingga memaksa para pihak untuk menaatinya dan/atau melaksanakannya. Adapun yang bisa dijadikan dasar hukum pendapat ini adalah ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya.
Dengan kata lain, jika MoU sudah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka kedudukan dan/atau keberlakuan MoU bagi masing-masing pihak dapat disamakan dengan sebuah undang-undang yang mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa, sebatas pada hal-hal pokok yang termuat dalam MoU.
b. MoU tidak mempunyai kekuatan mengikat sehingga secara hukum tidak dapat dipaksakan kepada masing-masing pihak.
MoU hanya sebuah perjanjian pendahuluan sebagai alat bukti awal adanya kesepakatan yang memuat hal-hal pokok untuk melakukan perjanjian lebih lanjut. Meskipun mendasarkan pada KUHPerdata, kekuatan mengikat yang berlaku pada MoU tetap hanya sebatas moral saja. Dengan kata lain, MoU merupakan gentlemen agreement yang tidak memliki akibat hukum. Oleh karena itu, jika salah satu pihak ternyata tidak menjalankan MoU, maka pihak lain tidak dapat memberlakukan sanksi kepada yang bersangkutan.

Selain itu, bahwa untuk menentukan apakah suatu MoU memiliki kekuatan hukum mengikat atau tidak, harus dilihat terlebih dahulu isi perjanjiannya. Hal ini mengingat dalam praktiknya, masih banyak pihak yang menganggap MoU sebagai perjanjian atau membuat dokumen perjanjian yang diberi nama MoU, sehingga di dalamnya sudah diatur hak dan kewajiban para pihak.
Jika MoU yang demikian telah memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang terdiri dari kesepakatan para pihak, kecakapan para pihak, mengenai suatu hal tertentu, dan sebab yang halal, maka MoU tersebut mengikat para pihak dan berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya.

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *